Pages

Kamis, 08 Desember 2011

PERAN BADAN REINTEGRASI DAMAI ACEH (BRDA) DALAM PROSES DISARMAMENT, DEMOBILIZATION, DAN REINTEGRASI (DDR) DI ACEH PASCA PERJANJIAN HELSINKI 2005

Gempa bumi dan tsunami di Aceh sepertinya mempunyai dampak pada konflik RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dengan dimulainya kembali upaya perdamaian diantara kedua belah pihak. Setelah pemerintah melakukan perlawanan terhadap GAM, dan mereka mengaku kalah, maka mereka menandatangani MoU Damai antara Pemerintah RI dan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Pasca MoU atau nota kesepahaman Helsinki, Aceh baru, menjadi barang jualan baru di Aceh. Dari diskusi-diskusi publik, dokumen tender kontraktor, pamflet, poster, pidato-pidato di instansi pemerintah hingga ceramah di masjid dan meunasah. Seakan Aceh Baru sudah dekat, tinggal selangkah lagi semua pihak bisa menghirup udara damai yang abadi. Tanpa letusan senjata, tentunya.
Pihak-pihak dalam konflik seringkali membutuhkan bantuan dari pihak ketiga, yang bisa memberikan latar dimana para pihak yang berselisih dapat bertemu, dan latar tersebut sesuai dengan persetujuan dan permintaan kedua pihak. Pihak ketiga ini diharapkan dapat memicu timbulnya komunikasi (kadang-kadang berperan sebagai utusan yang menyampaikan pesan antara pihak-pihak yang berselisih), membuat usulan prosedur, menterjemahkan keluhan-keluhan ke dalam pernyataan konkrit, membantu pihak-pihak yang berselisih mendefinisikan masalah mereka, menyusun agenda, membuat saran-saran terhadap isu-isu substantif, dan memberikan alternatif solusi yang integratif.
Meskipun solusi yang diusahakan dan dibuat oleh pihak ketiga, namun kekuasaan untuk menolak dan menerima hasilnya diserahkan pada pihak yang berselisih. Sebagai konsekuensinya, pihak ketiga hendaknya hanya melakukan intervensi seperlunya saja, tidak lebih, dan secepat mungkin segera menarik diri. Kapan dan bilamana mereka harus menarik diri sebagian besar tergantung oleh komunikasi alamiah antar pihak yang berselisih, dan tingkat kepercayaan dan empati yang mereka bangun satu sama lain. Sasaran dari pihak ketiga tidak sesederhana hanya mencari solusi yang bisa diterapkan, tetapi mereka juga harus memikirkan cara untuk menerapkan solusi itu, supaya pihak yang berselisih merasa solusi tersebut untuk mereka, bukan untuk pihak ketiga.
Masalah lain yang muncul berkaitan program Reintegrasi, yang merupakan lanjutan dari proses disarmament (pelucutan senjata) dan demobilization (penarikan pasukan) TNI maupun kombatan GAM dari pos-pos mereka. Untuk merealisasikan proses reintegrasi ini maka dibentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang kemudian berubah nama menjadi Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA).
Dalam kasus GAM, dukungan internasional terhadap GAM relatif lemah dibandingkan dengan dukungan internasional terhadap RI. Mayoritas negara mendukung Indonesia, bahkan Negara yang tadinya merupakan tempat latihan GAM, juga mengemukakan dukungannya atas integritas Indonesia. Berbagai upaya reintegrasi dilakukan oleh pemerintah, upaya reintegrasi berupa penyaluran dana reintegrasi dan tanah pertanian kepada eks kombatan GAM. Namun, kendala muncul dimekanisme penyaluran dana reintegrasi kepada eks kombatan GAM. Pemerintah dan lembaga donor internasional inginkan mekanisme yang transparan agar dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan GAM melihat dari sisi keamanan, yaitu menjaga kerahasiaan nama-nama eks pasukannya. Perdamaian yang tercapai antara GAM dengan pemerintah RI menyisakan permasalahan para eks kombatan GAM. Para pejuang ini tidak mungkin keluar dari Aceh, melainkan mereka harus menyatu dengan masyarakat. Mereka juga tidak mungkin lagi untuk mengangkat senjata, kerana Aceh tetap menjadi anggota RI. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji tentang proses reintegrasi eks kombatan GAM ke masyarakat sebagai bagian dari proses perdamaian yang langgeng di Aceh.
Operasi militer akan membawa beberapa implikasi yang bisa diprediksikan. Dalam analisa ini akan dilihat dua implikasi yang signifikan yaitu: implikasi politik dan implikasi sosial, serta pelanggaran hukum humaniter dalam pelaksanaan operasi militer. Implikasi Politik ada dua hal penting yang bisa mengakibatkan negatif dari operasi militer secara politik, operasi militer akan membuat semakin hilangnya kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Republik Indonesia. Setelah dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM), pemerintah tidak serta-merta meninggalkan kebijakan operasi militer dalam menangani persoalan di Aceh, melainkan memecahnya ke dalam berbagai operasi militer seperti Operasi Wibawa, Operasi Sadar Rencong, Operasi Meunasah, Operasi Pemulihan Keamanan Aceh dan kemudian akan disusul Operasi Terpadu yang sekarang sedang disiapkan. Kedua, operasi militer akan mempengaruhi politik regional di Asia Tenggara, karena akan menyebabkan sejumlah pengungsi yang mungkin akan mengungsi ke beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand atau Singapura sebagaimana yang terjadi pada masa DOM dan sesudahnya. Persoalan pengungsi Aceh di Malaysia merupakan persoalan yang cukup rumit antara pemerintah RI dan pemerintah Malaysia, yang sampai saat ini masih berlangsung.
Program reintegrasi yang dicanangkan oleh BRDA ternyata kurang optimal, hal ini dikarenakan kelemahan aspek hukum dan budget BRDA. Yang pertama, BRDA mendorong pemerintah pusat untuk mengubah hukum pembentukan BRDA itu sendiri, menurut presiden bahwa BRDA lembaga yang diberi mandate untuk mengelola program reintegrasi Aceh. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perubahan paying hukum, BRDA harus memiliki hak untuk mengelola anggaran sendiri. Ketiga, BRDA bersama dengan berbagai stakeholder, termasuk lembaga donor yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segera menyelasaikan cetak-biru perdamaian dan pembangunan Aceh.

Menganalisis Hubungan Konflik di Aceh dengan Teori Konflik
Ritzer (1992) menjelaskan bahwa ide pokok tentang konflik pada intinya dapat terbagi menjadi tiga pikiran besar : (1) bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai adanya pertentangan terus menerus diantara unsur-unsurnya. (2) setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial. (3) keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Sedangkan teori struktural yang ditentang oleh teori konflik mengandung pula tiga pemikiran utama : (1) bahwa masyarakat berada pada kondisi statis, atau tepatnya berada pada kondisi keseimbangan. (2) setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. (3) anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum.
Pengertian konflik, sebagaimana dikemukakan Lewis A.Coser (1972) bahwa: “konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka”. Lebih lanjut, Coser mengemukakan bahwa konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Fungsional positif, apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negatif bila bergerak melawan struktur atau bertentangan dengan nilai-nilai utama. Sementara itu Beebe & Masterson (1994) menyatakan konflik hanya mempunyai dampak negatif apabila ; (1) konflik itu menghalangi kita untuk mencapai tujuan bersama, (2) mengganggu kualitas dan produktivitas masyarakat, dan (3) mengancam kesatuan.
Dalam kehidupan sehari-hari sudah sering kita lihat gejala-gejala konflik. Misalnya konflik antara dua kawan, antara orang tua dan anak, antara suami dengan isteri, antar kelompok etnis, antar kelompok agama. Apabila kita mengamati gejala-gejala konflik seperti disebutkan, dengan cepat dapat dikenal adanya konflik antar individu dan konflik antar kelompok. Dari fakta ini konflik sebetulnya merupakan hal yang biasa karena setiap individu atau kelompok tidak dapat melepaskan dirinya dari individu atau kelompk lainnya. Sementara itu, individu atau kelompok mempunyai kepentingan, minat yang berbeda sehingga perbedaan pendapat, baik yang menyangkut tentang tujuan yang hendak dicapai, maupun yang menyangkut cara mencapai akan selalu terjadi.
Konflik adalah bagian yang wajar dari sebuah masyarakat yang sehat, tetapi yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana konflik yang terjadi dapat terkelola menjadi sebuah potensi positif bagi perubahan. Tahap akhir dari sebuah konflik mungkin merupakan fase yang paling menyulitkan terjadinya transformasi dalam sebuah proses yang sangat sulit. Menciptakan solusi-solusi yang baik dan tahan lama atas sebuah konflik yang terjadi menjadi keharusan. Meskipun konflik-konflik yang terjadi tampak berbeda satu sama lain pada dasarnya ada kesamaan isu, yaitu kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Apabila konflik dipahami seperti diuraikan diatas, maka manajemen konflik harus dilihat, pertamakali konflik yang terjadi tersebut sampai pada tindakan yang mana, kemudian diikuti dengan mengidentifikasi sebab-sebab konflik yang terjadi kemudian disusun perencanaan intervensi seperti apa yang perlu dilakukan, agar konflik menjadi unsur dinamis dalam kehidupan sosial. Pendekatan sosiologis dalam mengupas konflik yang dimaksudkan disini adalah bahwa konflik merupakan bagian kajian dari sosiologi dimana objek ilmu sosiologi adalah masyarakat dengan segala aspek-aspeknya. Dalam pendekatan ini masyarakat selalu berada dalam suatu sistem sosial. Jika masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem sosial, maka seluruh bagian-bagian dari masyarakat atau fakta sosial yang ada satu sama lain mempunyai hubungan yang sifatnya saling ketergantungan.
Konflik bisa berdampak negatif maupun berdampak positif. Konflik adalah interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda dan berlawanan yang didalamnya perselisihan bisa diproses, akan tetapi tidak secara pasti diselesaikan. Dalam hal ini ada kebutuhan untuk bergeser menjauh dari berpikir mengenai penyelesaian konflik menjadi mengelola konflik.

0 komentar:

Posting Komentar